Putus




Ini sudah hari ketiga ia tak menghubungi sama sekali.

Aku sudah benar – benar kesal dan putus asa. Di kampus pun ia tidak menyapaku sama sekali. Kami seperti orang yang tidak saling mengenal. Kami bertengkar hebat tiga hari yang lalu, menyisakan masalah yang tak terselesaikan. Sejak hari itu kami tidak saling menghubungi.

Sore tadi tiba – tiba ia menghubungi ku. Mengajakku bertemu di luar untuk mengobrol. Aku hanya meng-iya-kan tanpa bertanya topik apa yang akan diobrolkan. Tentu saja tentang masalah ini. Aku memiliki firasat buruk tentang obrolan nanti. Sepertinya hubungan ini tidak akan berhasil.

Kami bertemu di café malam itu. Ia sudah berada di sana lebih dulu. Setelah memesan minuman, ia mulai berbicara. Ia bertanya apakah ada hal yang ingin aku sampaikan. Tentu saja ada, banyak sekali yang ingin aku katakan padanya. Namun ku persilahkan ia berbicara duluan. Ia hanya diam, cukup lama. Sampai akhirnya ia berkata, bahwa ia lelah dengan semua ini. Lelah dengan hubungan kami. Lelah dengan diriku. Ia ingin bebas. Ia meminta putus.

Aku tertegun mendengar permintaannya. Benarkah? Setelah dua tahun hubungan ini berjalan, ia berkata bahwa ia lelah? Ia lelah dengan ku, lelah dengan hubungan ini. Apa ia pikir aku pun tidak lelah? Begitu banyak lelah yang ku pulihkan sendiri hingga bisa sampai di dua tahun ini. Apakah selama ini aku mengekangnya sampai ia ingin bebas? Aku hanya diam mendengar permintaannya. Aku benar – benar tak habis pikir.

Ia berkata bahwa aku harus mengatakan sesuatu, walaupun ketidaksetujuan ku. Aku tak bisa berkata – kata. Lebih tepatnya, aku benar – benar marah sampai tidak bisa berkata – kata. Aku menahan air mata ku agar tidak menetes. Tidak, aku tidak akan menangis disini. Aku mencoba untuk mengatakan sesuatu tapi semuanya tertahan di tenggorokan ku. Napas ku tercekat. Akhirnya aku hanya berkata oke dan mengelurkan uang dari dompetku seraya menaruhnya di meja. Lalu pergi tanpa berkata apa – apa lagi. Ia hanya diam. Tidak berusaha mengejarku. Aku pulang dan menangis di kamar kos – ku. Bisa – bisanya ia meminta putus. Semalaman aku hanya menyumpahinya, berkata semoga ia mendapatkan kebebasannya itu. Aku akan bahagia dengan diriku sendiri. Aku tidak butuh dirinya. Aku harus bahagia.

Sampai pagi aku tidak tidur dan hanya menangis. Kelas pun tak ku hadiri dan aku tidak berminat untuk sarapan. Seharian aku hanya mengurung diri di kamar. Tidur adalah cara terbaik untuk memulihkan hatiku. Aku percaya esok hari hatiku akan lebih baik dari hari ini.


#CeritaPendekSekali

Comments

Popular posts from this blog

Matematika dan Segala Drama-nya

Ditinggal Nikah

Yet to Come